REDESAIN SPESIFIC GRANT DI INDONESIA, MUNGKINKAH?
Oleh : Imam Mukhlis Affandi
Bantuan spesifik (specific grant) atau
juga
disebut bantuan bersyarat (conditional grant)
biasanya ditujukan untuk mendanai program/kegiatan tertentu yang telah menjadi kewenangan daerah. Pemerintah
Daerah (Pemda) sebagai si penerima tidak boleh menggunakan dana tersebut
kecuali untuk kegiatan yang telah ditentukan oleh pemberi
(Pemerintah Pusat). Bantuan
spesifik ini kemudian
dikelompokkan menjadi dua, yaitu bantuan spesifik tanpa dana pendamping (non matching grant) dan bantuan spesifik dengan dana pendamping (matching grant). Bantuan spesifik tanpa dana pendamping paling tepat
digunakan untuk program yang sangat prioritas pada level pemerintahan yang
lebih tinggi tetapi prioritasnya rendah pada level pemerintahan dibawahnya.
Dengan demikian, maka bantuan spesifik dengan dana pendamping seharusnya
digunakan untuk program prioritas pada level pemerintahan yang lebih tinggi
yang juga menjadi program prioritas bagi level pemerintahan dibawahnya, atau
dengan kata lain program yang didanai harus memiliki kesesuaian antara
prioritas nasional dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Kemudian dari sisi penentuan jumlah yang akan ditransfer
ke daerah, bantuan spesifik dapat pula dikelompokkan pada dua jenis yaitu
: Closed-ended grant (jumlah yang akan ditransfer ke daerah telah ditetapkan
dari awal pada jumlah tertentu) dan Open-ended grant (jumlah grant yang
di transfer ditentukan oleh
realisasi belanja daerah dan biasanya jenis bantuan ini dirancang sangat
menantang untuk dapat direalisasikan oleh daerah). Di Indonesia, yang
termasuk dalam kelompok bantuan spesifik ini adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan
definisi, tujuan, kewajiban untuk menyediakan dana pendamping serta jumlah yang
ditransfer telah ditetapkan
dari awal dengan pagu sesuai PMK, maka DAK termasuk dalam
kelompok specific matching grant
closed-ended. Karena termasuk dalam kelompok specific matching grant ini, maka seharusnya program yang didanai oleh
DAK mempunyai kesesuaian antara program prioritas pemerintah pusat dengan
program prioritas pemerintah daerah. Dengan demikian, alokasinya pun seharusnya
disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing pada setiap program
prioritas.
Sementara
itu, pengalokasian DAK saat ini berdasarkan ketentuan yang ada yaitu UU 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
serta PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan dilakukan dengan mekanisme sebagai
berikut :
1. Penentuan
bidang serta program/kegiatan apa saja yang akan didanai oleh DAK ditetapkan
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun
2. Penentuan
daerah penerima dan besaran alokasi masing-masing daerah dilakukan menggunakan
formula berdasarkan data dari kriteria-kriteria DAK, yaitu kriteria umum, kriteria
khusus dan kriteria teknis. Kriteria-kriteria tersebut mencerminkan tujuan
adanya DAK, yaitu untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan daerah yang
rendah, dalam rangka mendanai sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat
serta untuk percepatan pembangunan daerah. Kriteria umum mengacu kepada kemampuan keuangan daerah yang dirumuskan
berdasarkan penerimaan umum daerah dikurangi gaji yang datanya dari APBD daerah
bersangkutan. Kriteria khusus dirumuskan berdasarkan peraturan perundangan yang
mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah yang datanya
diperoleh dari Kementerian/Lembaga terkait. Kriteria teknis disusun berdasarkan
indikator-indikator kegiatan yang akan didanai dari DAK. Kriteria tenis juga datanya
diperoleh dari Kementerian Teknis terkait.
Mekanisme
pengalokasian DAK saat ini seperti diatas rentan menghadapi dua permasalahan,
yaitu:
a. Penentuan
bidang serta program/kegiatan oleh Pemerintah Pusat dalam RKP tanpa melibatkan
daerah akan sangat memungkinkan adanya gap atau ketidaksesuaian antara bidang/program/kegiatan
yang menjadi prioritas pusat dengan bidang/program/kegiatan yang menjadi
prioritas atau kebutuhan daerah. Di bidang pertanian misalnya, kegiatan DAK yang
telah disusun prioritasnya dalam RKP menjadi sangat berbeda dengan realisasinya
di daerah. Tabel berikut menjelaskan bahwa perluasan areal pertanian yang
menjadi prioritas utama Kementerian Pertanian, malah sangat kecil persentase
realisasinya di daerah. Sebaliknya hampir 80 persen pelaksanaan DAK bidang
pertanian di daerah digunakan untuk prasarana dan sarana pengelolaan air dan
lahan yang sebenarnya prioritasnya hanya 25 persen berdasarkan usulan K/L.
Sumber
: Usulan dan laporan pelaksanaan DAK TA. 2012 dari Kementerian Pertanian, data
diolah
Perbedaan prioritas kegiatan antara usulan K/L yang menunjukkan prioritas nasional dan realisasi pelaksanaan
di daerah yang menunjukkan prioritas kebutuhan daerah disebabkan
karena penetapan kegiatan yang akan
didanai DAK lebih bersifat top down
tanpa ada mekanisme untuk mendapatkan masukan dari daerah. Tidak terdapat forum
resmi yang mempertemukan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk
membahas kegiatan DAK. Selama ini forum perencanaan yang mempertemukan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hanyalah forum Musrenbangnas, itupun
dengan waktu dan peserta yang terbatas serta tanpa ada sesi khusus mengenai
DAK. Forum asistensi kegiatan DAK yang dilakukan oleh sebagian K/L pun
dilakukan setelah pagu alokasi DAK per daerah ditetapkan.
b. Ketentuan
DAK yang ada saat ini tidak menjelaskan secara detail bagaimana menggunakan formula
dari ketiga indeks kriteria DAK dalam menentukan daerah penerima dan besaran
alokasi DAK masing-masing daerah. Akibatnya formula penentuan daerah penerima
dan besaran alokasi DAK masing-masing daerah sangat tergantung pada kebijakan yang
ditetapkan setiap tahun. Kebijakan ini terletak pada pemberian bobot dari
masing-masing indeks setiap tahunnya. Karena masing-masing indeks dari kriteria
DAK ini menunjukkan tujuan dari DAK, maka kita bisa menebak bahwa pemberian
bobot yang lebih besar kepada indeks kriteria tertentu menunjukkan keberpihakan
pemerintah setiap tahunnya kepada tujuan DAK. Pemberian bobot yang lebih besar
kepada indeks kriteria teknis misalnya, menunjukkan keberpihakan alokasi DAK
dalam rangka mendanai sarana dan prasarana pelayanan masyarakat. Sehingga bisa
saja daerah dengan kemampuan keuangan yang tinggi akan mendapatkan alokasi DAK
yang lebih besar dibandingkan daerah dengan kemampuan keuangan rendah. Apalagi ukuran
indeks kriteria teknis saat ini sebagian besar adalah tingkat kerusakan, yang
tentunya daerah dengan sarana dan prasarana yang banyak akan banyak pula
tingkat kerusakannya, dan daerah dengan sarana dan prasarana yang banyak ini
tentunya adalah daerah yang sudah mapan.
Sebaliknya apabila pemberian bobot yang lebih besar
dilakukan kepada indeks kriteria umum, maka daerah-daerah dengan kemampuan
keuangan rendah akan mendapatkan alokasi yang lebih besar dibandingkan daerah
dengan kemampuan keuangan yang lebih tinggi. Hal ternyata juga akan menimbulkan
potensi masalah, karena saat ini kegiatan yang ditetapkan akan didanai oleh DAK
adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya rehabilitasi bukan kegiatan yang
sifatnya pembangunan. Sehingga apabila daerah yang mempunyai kemampuan keuangan
rendah mendapatkan alokasi DAK yang besar, akan kesulitan untuk melaksanakan
kegiatannya karena keterbatasan sarana dan prasarana yang ada, yang
mengakibatkan dana DAK yang diperolehnya menjadi mubazir tak terserap.
Studi
benchmarking yang dilakukan oleh
Bappenas (analisis permasalahan DAK, 2012) terhadap tipologi specific matching grant dari 13 negara (Inggris,
Polandia, Sudan, Austria, Belgia, Kanada, Norwegia, Denmark, Jerman, Italia,
Jepang, Belanda dan New Zealand), menunjukkan bahwa sebagian besar negara tersebut
:
§ pendanaan specific grants hanya pada bidang khusus terutama untuk pelayanan
dasar, meskipun dibuka peluang bagi daerah untuk mengusulkan bidang lainnya,
§ dalam penentuan specific grants
atas dasar pengajuan/usulan pemerintah daerah mengenai kebutuhan daerahnya masing-masing
dengan pengalokasiannya berdasarkan penilaian pemerintah pusat tanpa menggunakan
formulasi tertentu, serta
§ penentuan
matching grants (dana pendamping) dilakukan
atas dasar negosiasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berdasarkan
hal-hal diatas, maka penulis berpendapat, perlu kiranya dilakukan redesain
bukan hanya sekedar reformulasi terhadap mekanisme specific matching grant di Indonesia yang sifatnya lebih bottom up, terutama dalam rangka perubahan
UU Nomor 33 tahun 2004. Konsep dasar yang ada di benak penulis itu misalnya :
a. Bidang dan jenis kegiatan yang akan didanai
serta jumlah dana yang tersedia ditentukan oleh Pemerintah pusat berdasarkan prioritas nasional dan kemampuan keuangan negara yang kemudian diumumkan
ke daerah. Bidang dan jenis kegiatan ini bukan saja yang ada di DAK saat ini
namun bisa juga jenis dana spesifik lainnya semisal dana BOS.
b.
Kegiatan DAK yang ditentukan tersebut dapat berupa
fisik maupun non fisik.
c. Selanjutnya daerah mengajukan usulan kebutuhan untuk
mendapatkan pendanaan dari bidang atau jenis kegiatan DAK yang telah ditentukan
pemerintah pusat tersebut sesuai dengan prioritas kebutuhan daerah, sehingga
terjadi kesesuaian antara prioritas nasional dan prioritas kebutuhan daerah.
d. Dengan jumlah kabupaten/kota yang banyak di
Indonesia, maka usulan kebutuhan tersebut dapat dikoordinasikan oleh Gubernur
selaku wakil Pemerintah Pusat.
e.
Penentuan alokasi DAK per daerah ditentukan
berdasarkan penilaian Pemerintah Pusat. Dasar penilaian dapat menggunakan
indikator-indikator tertentu yang ditetapkan dalam pedoman/petunjuk penilaian. Penilaian tersebut juga memperhatikan dana yang tersedia. Apabila
Pemerintah Pusat kesulitan dalam melakukan penilaian, maka penilaian tersebut
bisa dilakukan dengan bantuan Provinsi.
f.
Apabila terdapat dana pendamping, penentuannya dilakukan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan kemampuan keuangan
daerah bersangkutan.
Demikian
lintasan pemikiran sederhana dan dangkal dari penulis. Lintasan pemikiran ini merupakan
pendapat pribadi penulis dan sangat bisa diperdebatkan oleh para ahlinya, semoga
bermanfaat.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith
Thariq, Wassalamualaikum Wr. Wb.
Sumber :
Imam Mukhlis Affandi, 2014. (Evaluasi Kebijakan Pengalokasian DAK di Indonesia, Tesis, MPKP FE UI)
Sumber :
Imam Mukhlis Affandi, 2014. (Evaluasi Kebijakan Pengalokasian DAK di Indonesia, Tesis, MPKP FE UI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar