Senin, 22 Desember 2014

TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP UNTUK TRANSFORMASI KELEMBAGAAN


TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP UNTUK TRANSFORMASI KELEMBAGAAN
Oleh : Imam Mukhlis Affandi

Definisi Leadership (Kepemimpinan)
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kemenkeu dalam salah satu bahan ajar diklat berbasis kompetensi tingkat IV (DBK IV) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah tentang bagaimana mempengaruhi orang lain, bawahan atau pengikut agar mau mencapai tujuan yang diinginkan oleh sang pemimpin. Bahwa kemudian pengaruh tersebut hanya bertahan dalam jangka pendek atau jangka panjang, ada bawahan yang menurut karena terpaksa atau dengan sukarela dan senang hati, maka itu hanya menyangkut gradasi saja dari kualitas kepemimpinan.
Sashkin dan Sashkin dalam bukunya Leadership That Matters memberikan beberapa ilustrasi tentang pendekatan kepemimpinan untuk menggerakkan orang lain guna mencapai hasil yang diinginkan yaitu : (i) beberapa diantara pemimpin berhasil memperoleh dukungan besar, dicinta dan dihargai pengikutnya, (ii) segelintir pemimpin menebar ancaman dan ketakutan terhadap bawahannya guna memperoleh hasil yang diharapkan, (iii) ada juga pemimpin buruk, yang menggunakan kekuasaan, kebohongan dan merendahkan orang lain, serta (iv) pemimpin terbaik yang apabila tujuan telah tercapai, maka bawahannya akan mengatakan bahwa “inilah hasil kerja kita”.
Sementara itu, Warren Bennis dalam bukunya “Leader, The Strategis for Taking Change”, menyatakan bahwa kepemimpinan diperlukan untuk menolong organisasi mengembangkan pandangan baru bagaimana supaya mereka dapat maju yang kemudian memobilisasi perubahan organisasi menuju pandangan baru yang lebih baik atau bisa disebut sebagai transformasi. Secara umum, berdasarkan pengaruh yang mendasari pemimpin dalam mempengaruhi pengikutnya, model kepemimpinan masa kini dibagi menjadi dua, yaitu model kepemimpinan transaksional dan model kepemimpinan transformasional (transformational leadership).

Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional didasarkan pada sistem birokrasi dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa pemimpinlah yang menentukan apa yang perlu dilakukan bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Dalam memberikan motivasi pada bawahannya agar melakukan tugasnya, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian reward and punishment pada bawahannya.
 Karakteristik kepemimpinan transaksional menurut Burns (1978) adalah contingen reward dan management by-exception. Pada contingen reward, dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas dapat dilaksanakan dengan baik berupa bonus, bertambahnya penghasilan atau fasilitas atau mendapatkan promosi. Management by exception menekankan fungsi managemen sebagai kontrol. Pimpinan hanya melihat dan mengevaluasi apakah terjadi kesalahan untuk diadakan koreksi dan memberikan intervensi pada bawahan apabila ternyata standar tidak dipenuhi oleh bawahan. Praktik management by exception adalah pimpinan mendelegasikan tanggung jawab pada bawahan dan menindaklanjuti dengan memberikan pujian dan penghargaan apabila bawahan memenuhi standar yang diinginkan.

Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya agar mereka melakukan tugas yang dibebankan lebih dari sekedar tanggung jawabnya, atau lebih dari kepentingan pribadi demi kepentingan organisasi. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi dan misi organisasi serta membuat bawahan bisa menerima dan mengakui kredibilitasnya. Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik, mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya.
Menurut Sashkin dan Sashkin, ada empat ciri spesifik dari model kepemimpinan transformasional, yaitu :
1.     Communication Leadearship
Pemimpin transformasional harus mempunyai keterampilan komunikasi yang baik dengan bawahannya, terutama dalam mengkomunikasikan visi dan misi organisasi serta gagasan-gagasan dalam rangka perbaikan organisasi.
2.    Credible Leadership
Faktor yang mendasari credible leadership adalah faktor kepercayaan (trust). Tindakan yang konsisten dari seorang pemimpin transformasional akan memupuk kepercayaan dari bawahannya. Konsistensi antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin akan berdampak berkurangnya keraguan bawahan. Dalam memperlakukan orang lain, seorang pemimpin transformasional juga memperlihatkan konsistensinya dengan menunjukkan rasa hormat baik kepada teman maupun orang asing yang baru dilihatnya. Pemimpin transformasional membangun kredibilitas dengan mengatakan kebenaran.
3.    Caring Leadership
Pemimpin transformasional selalu menunjukkan kepedulian terhadap orang lain. Pemimpin yang peduli akan membuat bawahan merasa menjadi bagian dari organisasi. Pemimpin transformasional juga menaruh rasa hormat terhadap perbedaan termasuk perbedaan pendapat, karena dia  menyadari bahwa setiap orang berbeda dan mempunyai sudut pandang berfikir yang berlainan.
4.   Creating Opportunity
Pemimpin transformasional selalu menciptakan peluang bagi orang lain untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya. Pemimpin transformasional mempersiapkan bawahan untuk mampu menangani pekerjaan yang sulit dan beresiko, serta mampu mengendalikan sendiri resiko tersebut. Menciptakan peluang menjadi hal penting karena merupakan pemberdayaan bawahan sehingga mempunyai kepercayaan diri atas kemampuan sendiri. Pada akhirnya pemimpin transformasional berusaha untuk mempersiapkan bawahannya menjadi pemimpin.
Selanjutnya Bass dan Avolio dalam bukunya “Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership” mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional juga mempunyai empat dimensi yaitu :
1. Dimensi idealized influence (pengaruh ideal) dimana perilaku pemimpin transformasional membuat bawahannya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
2. Dimensi inspirational motivation (motivasi yang menginspirasi) dimana pemimpin transformasional dianggap sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasi prestasi bawahan, mendemontrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi serta mampu menggugah semangat tim dalam organisasi dengan menumbuhkan optimisme. Pemimpin transformasional juga harus menghindari menciptakan rasa takut bagi bawahannya dalam mencapai tujuan organisasi.
3. Dimensi intellectual simulation (simulasi intelektual) dimana pemimpin transformasional harus mampu menciptakan ide-ide baru dan memberikan solusi yang kretaif terhadap permasalahan-permasalahan bawahan serta memberikan motivasi kepada bawahan agar mencari cara-cara baru dalam melaksanakan tugas organisasi.
4. Dimensi individualized consideration (konsiderasi individu) dimana pemimpin transformasional harus mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan dari bawahan serta memperhatikan kebutuhan bawahan dalam rangka pengembangan karir.
Di Indonesia, ciri-ciri kepemimpinan transformasional sebenarnya sudah diperkenalkan sejak lama oleh Ki Hajar Dewantara. Ajaran kepemimpinan Ki Hajar Dewantara tertuang dalam kalimat yang sejak Sekolah Dasarsering kita dengar, yaitu : “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Ing Ngarso Sung Tulodo bermakna bahwa seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahannya. Suri tauladan itu dapat berupa perilaku yang baik, kredibilitas maupun konsistensi antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilaksanakan. Dengan menjadi suri tauladan bagi bawahannya, maka pemimpin akan sangat dihormati dan dikagumi oleh bawahannya.  Ing Madyo Mangun Karso bermakna bahwa seorang pemimpin harus mampu menggugah atau membangkitkan semangat dan motivasi bawahannya. Karena itu seorang pemimpin harus mampu memberikan inovasi-inovasi di lingkungannya serta mampu menciptakan suasana yang kondusif untuk keamanan dan kenyamanan bekerja seluruh bawahannnya. Tut Wuri Handayani bermakna bahwa seorang pemimpin harus mampu memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang bagi bawahannya. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan bagi bawahan untuk menumbuhkan motivasi dan semangat. Seorang pemimpin yang berhasil adalah yang berhasil mendorong bawahannya untuk menjadi sesukses dia atau malah melebihi kesuksesannya. 

Mengapa Memerlukan Transformastional Leadership?
   Dari dua jenis model kepemimpinan diatas, yang sejalan dengan transformasi kelembagaan suatu institusi yang menginginkan adanya paradigma baru dengan merubah visi dan misi yang ada adalah model kepemimpinan transformasional. Beberapa ahli menyatakan model kepemimpinan transformasional sebagai breakthrough leadership (kepemimpinan penerobos), karena pemimpin transformasional mampu membawa perubahan-perubahan yang sangat besar bagi individu bawahan maupun organisasi secara keseluruhan dengan memperbaiki kembali karakter individu dalam organisasi maupun perbaikan organisasi secara keseluruhan, menciptakan inovasi-inovasi, meninjau kembali struktur, proses, nilai-nilai dan visi misi organisasi agar lebih baik dan relevan dengan kondisi terbaru serta tertantang untuk mencoba merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap sulit direalisasikan. Seorang pemimpin transformasional mampu menciptakan pergeseran paradigma untuk mengembangkan praktek-praktek organisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan.

Dengan demikian, dampak adanya seorang pemimpin transformasional akan sangat dirasakan oleh individu-individu bawahan atau organisasi secara umum. Bawahan seorang pemimpin transformasional akan merasakan adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan rasa hormat terhadap pemimpin tersebut serta menjadi termotivasi (extra effort) untuk melakukan hal-hal yang lebih daripada yang diharapkan pemimpin. Selanjutnya, dengan adanya suasana individu-individu seperti diatas akan membuat suatu organisasi menjadi organisasi yang sehat dan mampu bersaing menghadapi tantangan

Selasa, 16 Desember 2014

REDESAIN SPESIFIC GRANT DI INDONESIA, MUNGKINKAH ?



REDESAIN SPESIFIC GRANT DI INDONESIA, MUNGKINKAH?

Oleh : Imam Mukhlis Affandi

Bantuan spesifik (specific grant) atau juga disebut bantuan bersyarat (conditional grant) biasanya ditujukan untuk mendanai program/kegiatan tertentu yang telah menjadi kewenangan daerah. Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai si penerima tidak boleh menggunakan dana tersebut kecuali untuk kegiatan yang telah ditentukan oleh pemberi (Pemerintah Pusat). Bantuan spesifik ini kemudian dikelompokkan menjadi dua, yaitu bantuan spesifik tanpa dana pendamping (non matching grant) dan bantuan spesifik dengan dana pendamping (matching grant). Bantuan spesifik tanpa dana pendamping paling tepat digunakan untuk program yang sangat prioritas pada level pemerintahan yang lebih tinggi tetapi prioritasnya rendah pada level pemerintahan dibawahnya. Dengan demikian, maka bantuan spesifik dengan dana pendamping seharusnya digunakan untuk program prioritas pada level pemerintahan yang lebih tinggi yang juga menjadi program prioritas bagi level pemerintahan dibawahnya, atau dengan kata lain program yang didanai harus memiliki kesesuaian antara prioritas nasional dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Kemudian dari sisi penentuan jumlah yang akan ditransfer ke daerah, bantuan spesifik dapat pula dikelompokkan pada dua jenis yaitu : Closed-ended grant (jumlah yang akan ditransfer ke daerah telah ditetapkan dari awal pada jumlah tertentu) dan Open-ended grant (jumlah grant yang di transfer ditentukan oleh realisasi belanja daerah dan biasanya jenis bantuan ini dirancang sangat menantang untuk dapat direalisasikan oleh daerah). Di Indonesia, yang termasuk dalam kelompok bantuan spesifik ini adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). Berdasarkan definisi, tujuan, kewajiban untuk menyediakan dana pendamping serta jumlah yang ditransfer telah ditetapkan dari awal dengan pagu sesuai PMK, maka DAK termasuk dalam kelompok specific matching grant closed-ended. Karena termasuk dalam kelompok specific matching grant ini, maka seharusnya program yang didanai oleh DAK mempunyai kesesuaian antara program prioritas pemerintah pusat dengan program prioritas pemerintah daerah. Dengan demikian, alokasinya pun seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing pada setiap program prioritas.  
Sementara itu, pengalokasian DAK saat ini berdasarkan ketentuan yang ada yaitu UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut :
1.   Penentuan bidang serta program/kegiatan apa saja yang akan didanai oleh DAK ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun
2.      Penentuan daerah penerima dan besaran alokasi masing-masing daerah dilakukan menggunakan formula berdasarkan data dari kriteria-kriteria DAK, yaitu kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Kriteria-kriteria tersebut mencerminkan tujuan adanya DAK, yaitu untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan daerah yang rendah, dalam rangka mendanai sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat serta untuk percepatan pembangunan daerah. Kriteria umum mengacu kepada kemampuan keuangan daerah yang dirumuskan berdasarkan penerimaan umum daerah dikurangi gaji yang datanya dari APBD daerah bersangkutan. Kriteria khusus dirumuskan berdasarkan peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah yang datanya diperoleh dari Kementerian/Lembaga terkait. Kriteria teknis disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan yang akan didanai dari DAK. Kriteria tenis juga datanya diperoleh dari Kementerian Teknis terkait.
Mekanisme pengalokasian DAK saat ini seperti diatas rentan menghadapi dua permasalahan, yaitu:
a.   Penentuan bidang serta program/kegiatan oleh Pemerintah Pusat dalam RKP tanpa melibatkan daerah akan sangat memungkinkan adanya gap atau ketidaksesuaian antara bidang/program/kegiatan yang menjadi prioritas pusat dengan bidang/program/kegiatan yang menjadi prioritas atau kebutuhan daerah. Di bidang pertanian misalnya, kegiatan DAK yang telah disusun prioritasnya dalam RKP menjadi sangat berbeda dengan realisasinya di daerah. Tabel berikut menjelaskan bahwa perluasan areal pertanian yang menjadi prioritas utama Kementerian Pertanian, malah sangat kecil persentase realisasinya di daerah. Sebaliknya hampir 80 persen pelaksanaan DAK bidang pertanian di daerah digunakan untuk prasarana dan sarana pengelolaan air dan lahan yang sebenarnya prioritasnya hanya 25 persen berdasarkan usulan K/L.
Sumber : Usulan dan laporan pelaksanaan DAK TA. 2012 dari Kementerian Pertanian, data diolah
Perbedaan prioritas kegiatan antara usulan K/L yang menunjukkan prioritas nasional dan realisasi pelaksanaan di daerah yang menunjukkan prioritas kebutuhan daerah disebabkan karena penetapan kegiatan yang akan didanai DAK lebih bersifat top down tanpa ada mekanisme untuk mendapatkan masukan dari daerah. Tidak terdapat forum resmi yang mempertemukan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk membahas kegiatan DAK. Selama ini forum perencanaan yang mempertemukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah hanyalah forum Musrenbangnas, itupun dengan waktu dan peserta yang terbatas serta tanpa ada sesi khusus mengenai DAK. Forum asistensi kegiatan DAK yang dilakukan oleh sebagian K/L pun dilakukan setelah pagu alokasi DAK per daerah ditetapkan.  
b.    Ketentuan DAK yang ada saat ini tidak menjelaskan secara detail bagaimana menggunakan formula dari ketiga indeks kriteria DAK dalam menentukan daerah penerima dan besaran alokasi DAK masing-masing daerah. Akibatnya formula penentuan daerah penerima dan besaran alokasi DAK masing-masing daerah sangat tergantung pada kebijakan yang ditetapkan setiap tahun. Kebijakan ini terletak pada pemberian bobot dari masing-masing indeks setiap tahunnya. Karena masing-masing indeks dari kriteria DAK ini menunjukkan tujuan dari DAK, maka kita bisa menebak bahwa pemberian bobot yang lebih besar kepada indeks kriteria tertentu menunjukkan keberpihakan pemerintah setiap tahunnya kepada tujuan DAK. Pemberian bobot yang lebih besar kepada indeks kriteria teknis misalnya, menunjukkan keberpihakan alokasi DAK dalam rangka mendanai sarana dan prasarana pelayanan masyarakat. Sehingga bisa saja daerah dengan kemampuan keuangan yang tinggi akan mendapatkan alokasi DAK yang lebih besar dibandingkan daerah dengan kemampuan keuangan rendah. Apalagi ukuran indeks kriteria teknis saat ini sebagian besar adalah tingkat kerusakan, yang tentunya daerah dengan sarana dan prasarana yang banyak akan banyak pula tingkat kerusakannya, dan daerah dengan sarana dan prasarana yang banyak ini tentunya adalah daerah yang sudah mapan.
Sebaliknya apabila pemberian bobot yang lebih besar dilakukan kepada indeks kriteria umum, maka daerah-daerah dengan kemampuan keuangan rendah akan mendapatkan alokasi yang lebih besar dibandingkan daerah dengan kemampuan keuangan yang lebih tinggi. Hal ternyata juga akan menimbulkan potensi masalah, karena saat ini kegiatan yang ditetapkan akan didanai oleh DAK adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya rehabilitasi bukan kegiatan yang sifatnya pembangunan. Sehingga apabila daerah yang mempunyai kemampuan keuangan rendah mendapatkan alokasi DAK yang besar, akan kesulitan untuk melaksanakan kegiatannya karena keterbatasan sarana dan prasarana yang ada, yang mengakibatkan dana DAK yang diperolehnya menjadi mubazir tak terserap.      
Studi benchmarking yang dilakukan oleh Bappenas (analisis permasalahan DAK, 2012) terhadap tipologi specific matching grant dari 13 negara (Inggris, Polandia, Sudan, Austria, Belgia, Kanada, Norwegia, Denmark, Jerman, Italia, Jepang, Belanda dan New Zealand), menunjukkan bahwa sebagian besar negara tersebut :
§      pendanaan specific grants hanya pada bidang khusus terutama untuk pelayanan dasar, meskipun dibuka peluang bagi daerah untuk mengusulkan bidang lainnya,
§   dalam penentuan specific grants atas dasar pengajuan/usulan pemerintah daerah mengenai kebutuhan daerahnya masing-masing dengan pengalokasiannya berdasarkan penilaian pemerintah pusat tanpa menggunakan formulasi tertentu, serta
§      penentuan matching grants (dana pendamping) dilakukan atas dasar negosiasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis berpendapat, perlu kiranya dilakukan redesain bukan hanya sekedar reformulasi terhadap mekanisme specific matching grant di Indonesia yang sifatnya lebih bottom up, terutama dalam rangka perubahan UU Nomor 33 tahun 2004. Konsep dasar yang ada di benak penulis itu misalnya :
a.   Bidang dan jenis kegiatan yang akan didanai serta jumlah dana yang tersedia ditentukan oleh Pemerintah pusat berdasarkan prioritas nasional dan kemampuan keuangan negara yang kemudian diumumkan ke daerah. Bidang dan jenis kegiatan ini bukan saja yang ada di DAK saat ini namun bisa juga jenis dana spesifik lainnya semisal dana BOS.
b.      Kegiatan DAK yang ditentukan tersebut dapat berupa fisik maupun non fisik.
c.     Selanjutnya daerah mengajukan usulan kebutuhan untuk mendapatkan pendanaan dari bidang atau jenis kegiatan DAK yang telah ditentukan pemerintah pusat tersebut sesuai dengan prioritas kebutuhan daerah, sehingga terjadi kesesuaian antara prioritas nasional dan prioritas kebutuhan daerah.
d.   Dengan jumlah kabupaten/kota yang banyak di Indonesia, maka usulan kebutuhan tersebut dapat dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat.
e.       Penentuan alokasi DAK per daerah ditentukan berdasarkan penilaian Pemerintah Pusat. Dasar penilaian dapat menggunakan indikator-indikator tertentu yang ditetapkan dalam pedoman/petunjuk penilaian. Penilaian tersebut juga memperhatikan dana yang tersedia. Apabila Pemerintah Pusat kesulitan dalam melakukan penilaian, maka penilaian tersebut bisa dilakukan dengan bantuan Provinsi.
f.       Apabila terdapat dana pendamping, penentuannya dilakukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdasarkan kemampuan keuangan daerah bersangkutan.
Demikian lintasan pemikiran sederhana dan dangkal dari penulis. Lintasan pemikiran ini merupakan pendapat pribadi penulis dan sangat bisa diperdebatkan oleh para ahlinya, semoga bermanfaat.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thariq, Wassalamualaikum Wr. Wb.

Sumber :
Imam Mukhlis Affandi, 2014. (Evaluasi Kebijakan Pengalokasian DAK di Indonesia, Tesis, MPKP FE UI)