Senin, 23 Juni 2014

Tahapan Penelitian Secara Terstruktur

tahapan-tahapan dalam suatu penelitian secara terstruktur adalah sebagai berikut:

1. Pendefinisian masalah ( Problem Definition)
2. Perancangan Penelitian/Riset ( Research Design)
3. Perancangan Pengambilan Sampel ( Sampling design)
4. Pengumpulan data dan Analisis (Data collection and Analysis)
5. Pelaporan Hasil ( Reporting)

Berbohong dengan Statistik

Dariel Huff pernah menulis sebuah buku yang memukau, How to Lie with Statistic, bagaimana berbohong dengan statistik. Melalui buku ini, Huff menunjukkan bahwa statistik bisa–atau malah kerap kali–menjadi alat berbohong kepada publik yang sangat efektif. Sebagian lagi, statistik berbohong karena peneliti tidak cermat menganalisis. Peneliti gegabah mengambil kesimpulan. Tidak mencoba menyelami lebih jauh, apa yang ada di balik fakta. Huff, kemudian menunjukkan berbagai peluang kebohongan. Kalau tidak hati-hati, kita bisa keliru menggunakan data. Kita telan mentah-mentah data yang disajikan beserta kesimpulannya. Padahal, banyak masalah yang perlu kita cermati lebih lanjut. Banyak pertanyaan yang harus kita ajukan secara cerdas.

Bicara tentang statistik, Disraeli lebih sinis lagi. Ia mengatakan, di dunia ini cuma ada tidak macam kebohongan: lies, damned lies, dan statistic (dusta, dusta yang keji, dan statistik). Data statistik yang termasuk kategori dusta, kerap kali muncul pada pseudo-research (penelitian semu). Ada tiga macam penelitian: common sense research, purposive research, dan academic research. Diantara ketiga jenis tersebut, academic research atau disebut juga scientific research merupakan penelitian yang paling dapat dipercaya. purposive research–penelitian bertujuan, yakni mengarahkan hasil penelitian sesuai keinginan untuk suatu kepentingan. Common sense research–penelitian anggapan umum–jelas termasuk pseudo-research. Meskipun datanya dapat dilihat sebagai masukan awal untuk melihat fenomena sosial, tetapi hasil penelitian tidak bisa dipakai untuk membuat kesimpulan tentang realitas sosial yang ada.

Contoh kebohongan statistik karena Metode Sampling tidak tepat :

Contoh: Disebarkan angket kepada semua mahasiswa Fakultas X yang meminta mereka untuk memberitahu nilai IPK mereka. Dari angket yang terkumpul, ternyata didapat rata-rata IPK mahasiswa Fakultas X adalah 3.60. Tinggi sekali bukan? Lantas mereka menyimpulkan bahwa mahasiswa Fakultas X pintar-pintar semuanya. Tapi ini hanyalah sebuah tipuan statistik. Apakah yang terjadi sebenarnya? Mereka menyebarkan 500 buah angket, dan yang kembali ke mereka hanyalah 150 angket. Tampaknya para pembaca sudah mulai mengerti apa yang terjadi di sana, dan pasti bertanya-tanya, “Ke mana 350 angket sisanya?”. Mungkin dibuang, tidak dikumpulkan (atau tidak sampai ke tangan pemberi angket), dan mungkin saja diabaikan oleh penerima angket tersebut. Orang yang mempunyai IPK yang tinggi mungkin dengan senang hati mengisi angket tersebut, namun bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai IPK setinggi mereka? Mereka akan lebih enggan untuk mengisi, dan menyebabkan sampel percobaan mereka menjadi bias (dari “mahasiswa Fakultas X” menjadi “mahasiswa Fakultas X dengan IPK tinggi”). Tidak heranlah hasil penelitian mereka seperti itu. Contoh lainnya yang ekstrem adalah mendata penyebaran jenis kelamin penduduk negara X di dalam toilet pria misalnya. Lalu didapatkan 100% penduduk negara X berjenis kelamin pria, sesuatu yang menyesatkan. Bukan datanya yang salah, tapi sampelnya pada dasarnya sudah bias.

Jadi apa yang harus kita lakukan setelah tahu hal ini? Jika Anda menemukan data statistik, atau suatu kesimpulan yang didasarkan pada data statistik tertentu, ujilah dahulu hal tersebut. Anda harus cerdas. Apakah tahapan-tahapan metodologisnya sudah benar dan sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian.

(disadur dari berbagai sumber)